Entri Populer

Sabtu, 16 Juli 2011

PERSALINAN LAMA



PERSALINAN LAMA


persalinan lama
Persalinan lama disebut juga distosia, didefinisakan sebagai persalinan yang abnormal atau sulit. Sebab-sebabnya dapat dibagi 3 golongan berikut ini.
a.       Kelainan tenaga (kelainan his). His yang tidak normal dalam kuatan atau sifatnya menyebabkan kerintangan pada jalan lahir yang lazim terdapat pada setiap persalinan, tidak dapat diatasi sehingga persalinan mengalami hambatan atau kemacetan.
b.      Kelainan janin. Persalinan dapat mengalami gangguan atau kemacetan karena kelainan dalam letak atau dalam bentuk janin.
c.       Kelainan jlan lahir. Kelainan dalam ukuran atau bentuk jalan lahir bias menghalangi kemajuan persalinan atau menyebabkan kemacetan.
Jenis-Jenis Kelainan His
1.      Inersia Uteri
Disini his bersifat biasa dalam arti bahwa fundus berkontraksi leih kuat dan lebih dahulu daripada bagian-bagian lain, peranan fundus tetap menonjol. Kelainannya terletak dalan hal kontraksi uterus lebih aman, singkat, dan daripada biasa. Keadaan umum penderita biasanya baik dan rasa nyeri tidak seberapa. Selama ketuban masih utuh umumnya tidak berbahaya, baik bagi ibu maupun janin, kecuali persalinan berlangsung terlalu lama; dalam hal terakhir ini morbiditas ibu dan motalitas janin baik. Keadaan ini dinamakan inersia uteri primer atau hypotonic utrine contraction. Kalau timbul setelah berlangsung his kuat untuk waktu yag lama, dan hal itu dinamakan inersia uteri sekunder. Karena dewasa ini persalainan tidak dibiarkan berlansung demikian lama sehingga meombulkan kelelahan uterus, maka inersia uteri sekunder seperti ini digambarkan di bawah jarang ditemukan, kecuali pada ibu yang tidak diberi pengawasan baik waktu persalinan. Dalam menghadapi inersia uteri , harus diadakan penilaian yang seksama untuk menentukan sikap yang harus diambil. Jangan dilakukan tindakan yang tergesa-gesa untuk mempercepat lahirnya janin. Tidak dapat diberikan waktu yang pasti, waktu yang dipakai sebagai pegangan untuk membuat diagnosis inersia uteri atau untuk memulai terapi aktif.
Diagnosis inersia uteri paling sulit ditegakkan pada masa laten. Kontraksi uterus yang disertai dengan rasa nyeri, tidak cukup untuk menjadi dasar utama diagnoss bahwa persalinan sudah dimulai. Untuk sampai pada kesimpulan ini diperlukan kenyataan bahwa sebagai akibat kontraksi itu terjadi perubahan pada serviks yakni pendataran dan/ atau pembukaan. Kalahan yang sering dibuat ialah mengobati seorang penderita untuk inersianuteri padahal persalainan belum mulai (fase labour).
2.      His Terlampau Kuat
His terlamau kuat aau sering disebut juga hypertonic uterine contraction. Walaupun pada golongan coordinated hypertonic uterine contraction bukan merupakan penyebab distosia. His yang terlalu kuat dan terlalu efisien menyebabkan persalinan selsai dalam waktu yang sangat singkat. Partus yang sudah selesai kurang dari 3 jam dinamakan partus presipitatus yang di tandai oleh sifat his yang normal, tonus otot diluar his juga biasa, kelainannya terletak pada kekuatan his. Bahay partus presipitatus bagi ibu ialah terjadinya perlukaan luas pada jalan lahir, khususnya vagina dan perineum. Bayi bias mengalami perdarahan dalam tengkorak karena bagian tersebut mengalami tekanan kuat dalam waktu yang singkat.
Batas antara bagian atas dan segmen bawah rahim atau lingkaran retraksi menjadi sangat jelas dan meninggi. Dalam keadaan demikian lingkaran ini dinamakan lingkaran retraksi patologik atau lingkaran Bandll. Ligamenta rotunda menjadi tegangserta lebih jelas teraba, penderita merasa nyeri terus-menerus dan menjadi gelisah. Akhirnya apabila tidak diberi pertolongan, regangan segmen bawah uterus melampaui kekuatan jaringan sehingga dapat menyebabkan terjadinya ruptur uteri.
3.      Incoordinate uterine action
Disini sifat his berubah. Tonus otot uterus meningkat, juga di luar his, dan kontraksinya tidak berlangsung seperti biasa karena tidak ada sinkronisasi kontrksi bagian-bagiannya.tidak adanya koordinasi atara kontraksi bagian atas, tengah, dan bawah menyebabkan his tidak efisien dalam mengadakan pembukaan.
Di samping itu, tonus otot uterus yang menaik menyebabkan rasa nyeri yang lebih keras dan lama bagi ibu dapat pula menyebabkan hipoksia pada janin. His jenis ini juga disebut sebagai incoordinated hypertonic uterine contraction. Kadang-kadang pada persalinan lama dengna ketuban yang sudah lama pecah, kelainan his ini menyebabkan spasmus sirkuler setempat, sehingga terjadi penyempitan kavum uteri pada tempat itu. Ini dinamakan lingkaran kontraksi atau lingkaran konstriksi. Secara teoritis lingkaran ini dapat terjadi dimana-mana, tetapi biasanya ditemukan pada batas antara bagian atas dengan segmen bawah uteru. Lingkaran kontriksi tidak dapat diketahui dengan pemeriksaan dalam, kecuali pada pembukaan sudah lengkap, sehingga tangan dapat dimasukkan  kedalam kavum uteri. Oleh sebab itu, jika pembukaan belum lengkap, biasanya tida mungkin mengenal kelainan ini dengan pasti. Ada kalanya persalinan tidak maju karena kelainan pada serviks yang dinamakan distosia servikalis. Kelainan ini bisa ini bisa primer dan sekunder. Distosia servikalis dinamakan primer kalau serviks tidak membuka karena tidak mengadakan relaksasi berhubung dengan incoordinated uterine contraction. Penderita biasanya seorang primigravida. Kala I menjadi lama, dan dapat diraba jelas pinggir serviks yang kaku. Kalau keadaan ini dibiarkan, maka tekanan kepala teru menerus dapat menyebabkan nekrosis jaringan serviks dan dapat mengakibatkan lepasnya bagian tengan serviks secara sirkuler. Distosi servik sekunder disebabkan oleh kelainan organic pada serviks bisa robek dan robekan ini dapat menjalar ke bagian bawah uterus. Oleh karena itu, setiap yang pernah operasi pada serviks, selalu harus diawasi persalinnya di rumah sakit.

Etilogi
            Kelainan his terutama ditemukan pada primigravida, khususnya primigravida tua. Pada mutipara lebih banyak ditemukan kelainan yang bersifat inersia uteri. Factor hereditaer mungkin memegang peranan pula dalam kelainan his. Sampai seberpa jauhfaktor emosi (ketakutan dan lain-lain) mempengaruhi kelainan his. Khususnya inersia uteri, ialah apaila bagian bawah janin tidak berhubungabn rapat dengan segmen bawah uterus seperti pada kelainan letak janin ayau pada disporposi sefalopelvik. Peregangan  rahim yang berlebihan pada kehamilan ganda atauun hidraamnion juga dapat merupakan penyebab inersia uteri yang murni. Akhirnya, gangguan dalam pembentukan uterus pada masa embrional, misalnya uterus bikornis unikolis, dapat pula mengakibatkan kelainan his. Akan tetapi, pada sebagian besar kasus kurang lebih separuhnya, penyebab inersia uteri tidak diketahui.
Penanganan
Dalam menghadapi persalinan lama oleh sebab apapun keadaan ibu yang bersangkutan harus diawasi dengan seksama. Tekanan darah diukur tiap 4 jam, bahkan pemeriksaan ini perlu dilakukan lebih sering apabila ada gejala preeklamsi. Denyut jantung janin dicatat setiap setengah jam dalam kala I dan lebih sering dalam kala II. Kemingkinan dehidrasi dan asidosis harus mendapat perhatian sepenuhnya. Karena ada persalinan lama selalu ada kemungkinan  untuk melakukan tindakan pembedahan dengan narcosis, hendaknya ibu jangan diberi  makan biasa melainkan bentuk cairan. Sebaiknya dberikan infuse lartan glukosa 5% dan larutan NaCl isotonic secara intervena berganti-ganti. Untuk mengurangi rasa nyeri dapat diberikan petidin 50 mg yang dapat diulangi; pada pemmulaan kala I dapat diberikan 10 mg morfin. Pemeriksaan dalam perlu dilakukan, tetapi harus selalu disadari bahwa pemeriksaan dalam mengandung bahaya infeksi. Apabila persalinan berlangsung 24 jam tanpa kemajuan yang berarti, perlu diadakan penilaian keadaan umum, perlu diadakan penilaian yang seksama tentang keadaan. Selain penilaian umum, perlu ditetapkan apakah perslainan benar-benar sudah mulai atau masihdalam tingkat false labour, apaka ada inersia uteri atau incoordinated uterine contraction; apakah tidak ada disproporsi sefalopelvik biarpun ringan. Untuk menetapkan hal yang terakhir ini, jika perlu dilakukan pelvimetri roentgenologik atau Magnetic Resinance Imaging (MRI). Apabila serviks sudah terbuka untuk sedikit-sedikitnya 3 cm, dapat diambil kesimpulan bahwa persalinan sudah mulai.
Dalam menentukan sikap lebih lanjut lebih perlu diketahui apakah ketuban sudah atau belum pecah. Apabila ketuban sudah pecah, maka keputusan untuk menyelesaikan persalinan tidak boleh ditunda terlalu lam berhubung dengan bahaya infeksi. Sebaiknya dalam 24 jam setelah ketuban pecah dapat diambil keputusan apakah perlu dilakukan seksio sesarea dalam waktu singkat atau persalinan dapat dibiarkan berlangsung terus.
Inersia Uteri
            Dahulu sering diajarkan bahwa menunggu adalah sikaa yang terbaik dalam menghadapi inersia uteri selama ketuban masih utuh. Pendapat ini dianut karena bahaya besar yang menyertai tindakan pembedahan pada waktu itu. Sekarang kebenaran sikap menunggu itu ada batasnya, karena didasari bahwa menunggu terlalu lama dapat menambah bahaya kematian janin dank arena risiko tindakan pembedahan kini sudah lebih kecil daripada dahulu.
            Setelah diagnosis inersia uteri ditetapkan, harus diperiksa keadaan serviks, presentasi serta posisi janin, turunya kepala janin pada panggul, dan keadaan panggul. Kemudian harus disusun rencana menghadapi persalinan yang lamban ini. Apabila ada disproporsi sefalopelvik yang berarti, sebaiknya diambil keputusan untuk seksio sesarea. Apabila tidak ada disproporsi atau ada disproporsi ringan dapat diambil sikap lain. Keadaan umum penderita sementara itu diperbaiki dan kandung kencing serta rektm dikosongkan. Apabila kepala atau bokong janin sudah masuk kedalam panggul, penderita disuruh jalan-jalan. Tindakan sederhana ini kadang-kadang menyebabkan his menjadi kuat dan selanjutnya persalinan berjalan lancer. Pada waktu pemeriksaan dalam ketuban boleh dipecahkan. Memang sesudah tindakan ini persalinan tidak boleh berlangsung lama. Namun, tindakan terseubt dapat dibenarkan karena dapat merangsang his sehingga mempercepat jalannya persalinan. Kalu diobati dengan oksitosin, 5 satuan pksitosin dimasukkan dalam larutan glukosa 5% dan diberikan infuse secara intervena dengan kecepatan kira-kira 12 tetes per menit dan perlahan-lahan dapat dinaikan sampai kira-kira 50 tetes, tergantung pada hasilnya. Kalau 50 tetes tidak memberkan hasil yang diharapkan, maka tidak banyak gunanya memberikan oksitosin dalam dosis yang lebih tinggi. Bila infuse oksitosin diberikan, penderita harus diawasi dengan ketat dan tidak boleh ditinggalkan. Kekuatan dan kecepatan his dan keadaan denyut jantung janin harus diperhatikan dengan teliti. Infuse harus diberhentikan apabila kontraksi uterus berlangsung lebih 60 detik atau kalau denyut jantung janin menjadi cepat atau menjadi lambat. Menghentikan infuse umunya akan segera memperbaiki keadaan. Sangat berbahay memberikan oksitosin pada panggul sempit dan pada adanya regangan segmen bawah uterus. Demikian pula oksitosin jangan diberikan pada grande multipara dan kepada penderita yang pernah mengalami seksio sesarea atau mioktomi, karena memudahkan terjadinya rupture uteri. Pada penderita dengan partus lama dan gejala-gejala dehidrasi dan asidosis, di samping pemberian oksitosin dengan jalan infuse intervena gejala-gejala tersebut perlu diatasi.
            Maksud pemberian oksitosi adalah memperbaiki his sehingga serviks dapat membuka. Satu cirri khas oksitosin ialah bahwa hasil pemberiannya tampak jalan waktu singkat. Olek karena itu, tidak ad gunanya memberikan oksitosin berlarut-larut. Sebaiknya oksitosin diberikan beberapa jam saja. Kalau ternyata tidak ada kemajuan, pemberianya diberhentikan supaya penderita dapat istirahat. Kemudian dicoba lagi untuk beberapa jam. Kalau masih tida ada kemajuan, lebih baik dilakukan seksio sesarea. Oksitosis yang diberiakan dengan suntikan intramuskuler dapat menimbulkan atau incoordinated uterine contraction. Akan tetapi, ada kalanya terutama pada kala II, hanya diperlukan sedikit penambah kekuatan his supaya persalinan dapat diselesaikan. Disini seringkali 0.5 satuan oksitosin intramuskulus sudah cukup untuk mencapai hasil yang diinginkan. Oksitosin merupakan obat yang sangat kuat, yang dahulu dengan pemberian sekaligus dalam dosis besar sering menyebabkan kematian janin karena kontraksi uterus terlalu kuat dan lama, dan dapat menyebabkan pula timbulnya rupture uteri. Peberian intervena dengan jalan infuse (intraveneous drip) yang memungkinkan masuknya dosis dikit demi sedikit telah mengubah gambaran ini dan sudah pula dibuktikan bahwa oksitosis dengan jalan ini dapat diberikan dengan aman apabila penentuan indikasi, pelaksanaan dan pengawasan dengan baik.
His terlalu kuat
            Pada partus presipitatus tidak banyak yang dapat dilakukan karena biasanya bayi sudah lahir tanpa ada seorang yang menolong. Kalau seorang ibu pernah megalami partus presipipitatus, kemungkinan kejadian ini akan berulang pada persalinan berikutnya. Oleh karena itu sebaiknya ibu tersebut dirawat sebelum persalinan, sehingga pengawasan dapat dilakukan dengan baik. Pada persalinan keadaan diaeasi dengan cermat, dan episiotomy dilakukan pada waktu yang tepat untuk menghindari terjadinya rupture perinea tingkat 3. Bilamana his kuat dan ada rintangan yang menghalangi lahirnya janin, dapat timbul lingkaran retraksi patologik, yang merupakan tanda bahay akan terjadi rupture uteri. Dalam keadaan demikian janin harus dilahirkan dengan cara yang memberikan trauma minimal bagi ibu dan anak.
Incoordinated Uterine Action
            Kelainan ini hanya dapat diobati secara simptomatis karena belum ada obat yang dapat memperbaiki koordinasi fungsional antar bagian-bagian uterus. Usaha yang dapat dilakukan ialah mengurangi ketakutan penderita. Hal ini dapat dilakukan dengan pemberian analgetika, seperti morfin dan petidin. Akan tetapi, persalinan tidak boleh berlangsung berlarut-larut apalagi kalau ketuban sudah pecah. Dalam hal ini pada pembukaan belum lengkap, perlu pertimbangan seksia sesarea. Lingkaran kontriksi dalam kala I biasanya tidak diketahui, kecuali kalau lingkaran ini terdapat dibawah kepala janin sehinga dapat di raba melalui kanalis servikalis. Jikalau daiagnosis lingkaran kontriksi dalam kala I dapat dibuat, persalinan harus siselesaikan dengan seksio sesarea. Biasanya lingkaran kontriksi dalam kala II baru diketahui setelah usaa melahirkan dengan cunam gagal. Dengan tangan yang dimasukkan kedalam kavum uteri untuk mencari sebab kegagalan cunam, lingkaran kontriksi mungkin dapat diraba. Dengan narcosis dalam, lingkaran tersebut kadang-kadang dapat dihilangkan dan janin dapat dilahirkan dengan cunam. Apabla tindkan gagal dan janin masih hidup, terpaksa dilakukan seksio sesarea.
Kealinan kala I
Fase laten memanjang
Faktor-faktor yang mempengaruhi durasi fase laten adalah anesthesia regional atau sedasi yang berlebihan, keadaaan serviks yang buruk (misalnya tebal, tidak mengalami pendataran, atau tidak membuka), dan persalinan palsu.
Fase aktif memanjang
Keterkaitan atau faktor lain yang berperan dalam persalinan yang bekepanjangan dan macet adalah sedasi berlebihan, anestesi regional, dan malposisi janin, misalnya oksiput posterior persisten. Terapi yang dianjurkan untuk persalinan yang berkepanjangan adalah penatalaksanaan menunggu, sedangkan oksitosin dianjurkan untuk persalinan yang macet tanpa disproporsi sefalopelvik
Kelainan kala II
Tahap ini berawal saat pembukaan serviks telah lengkap dan berakhir dengan keluarnya janin. Median durasinya adalah 50 menit untuk nulipara dan 20 menit untuk multipara tetapi angka ini juga sangat bervareasi. Dengan ibu yang paritas tinggi yang vagina dan periniumnya sudah melebar, dua atau tiga kali usaha mengejan setelah pembukaan lengkap mungkin cukup untuk mengeluarkan janin, pada ibu yang panggul semoit atau janin besar, atau dengan kelainan gaya ekspulsif akibat anesthesia regional atau sedasi yang berat, maka kala II dapat sangat memanjang. Kala II nulipara pada persalinan dibatasi 2 jam dan diperpanjang 3jam apabila digunakan analgesia regional. Untuk multipara 1 jam adalah batasnya diperpanjang menjadi 2 jam pada penggunaan analgesia regional.
Penyebab kurang adekuatnya gaya ekspulsif
Kekuatan gaya yang dihasilkan oleh kontraksi otot abdomen dapat terganggu secara bermakna sehingga bayi tidak dapat lahir secara spontan melalui vagina. Sedasi berat atau anestesi regional-epidural lumbal, kaudal, atau intratekal-kemungkinan besar mengurangi dorongan refleks untuk mengejan, dan pada saat yang sama mugkin mengurangi kemampuan pasien mengontraksikan otot-otot abdomen. Pada beberapa kasus, keinginan alami untuk mengejan dikalahkan oleh menghebatnya nyeri yang timbul akibat mengejan.
Pemilihan jenis analgesia yang cermat dan waktu pemberiannya sangat penting untukmenghindari gangguan upaya ekspulsif voluntary. Dengan sedikit pengecualian, analgesia intratekal atau anesthesia umum jangan diberikan sampai semua kondisi untuk perlahiran dengan forsep pintu bawah panggul yang aman telah terpenuhi .Pada analgesia epidural kontinu, efek paratilik mungkin perlu dibiarkan menghilangkan sendiri sehingga yang bersangkutan dapat menghasilkan tekanan intraabdomen yang cukup kuat untuk menggerakan kepala janin keposisis yang sesuai untuk kelahiran dengna forceps pintu bawah panggul. Pilihan lain, kelahiran dengan forceps tengah dengan mungkin  sulit atau seksio sesarea, melakukan pilihan yang kurang memuaskan. Apabila tidak terdapat tanda-tanda gawat janin.
Bagi ibu yang kurang dapat mengejan dengan benar setiap kontraksi nyeri hebat, analgesia mungkin akan member banyak manfaat. Mungkin oilihan paling aman untuk janin dan ibunya adalah netrose oksida, yang campur dengan volume yang sama dengan oksigen yang diberikan saat setiap kali kontraksi. Pada saat yang sama, dorongan, dan instruksi yang sesuai kemungkinan besar member manfaat.
 Dampak Persalinan Lama Pada Ibu-Janin
            Persalinan lama dapat menimbulkan konsekuensi serius bagi salah satu atau keduanya sekaligus.

Infeksi Intrapartum
Infeksi bahaya yang serius yang mngancam pada ibu dan janinya pada partus lama, terutama bila disertai pecahnya ketuban. Bakteri didalam cairan amnion menembus amnion dan menginvasi desidua serta pembuluh korion sehingga terjadi bakterimiaa dan sepsis pada ibu dan janin. Pneumonia pada janin, akibat aspirasi cairan amnion yang terinfeksi, adalah konsekuensi serius lainnya. Pemeriksaan serviks dengan jari tangan akan memasukkan bakteri vagina kedalam uterus. Pemeriksaan ini harus dibatasi selama persalinan, terutama apabila dicurigai terjadi persalinan lama.
Ruptura uteri
            Penipisan abnormal segmen bawah uterus menimbulkan bahaya serius selama partus lama, terutama pada ibu dengan paritas tinggi dan pada mereka dengan riwayat seksio sesarea. Apabila disproporsi antara kepala janin dan panggul sedemikian besar sehingga kepala tidak cakap (engaged) dan tidak terjadi penurunan, segmen bawah uterusmenjadi sangat teregang kemudian dapat menyebabkan rupture. Pada kasus ini mungkinterbentuk cincin retraksi patologis yang dapat diraba sebagai sebuah kista trasversal atau oblik yang berjalan melintang di uterus antara simfisis dan umbilicus. Apabila dijumpai keadaan ini, diindikasikan persalinan perabdominam segera.
Cincin retraksi patologis
            Walaupun sangat jarang, dapat timbul kontriksi atau cincin local uterus pada persalinan yang berkepanjang. Tipe yang paling sering adalah cincin retraksi patologis Bandl, yaitu pembebtukan cincin retraksi normal yang berlebihan. Cincin ini sering timbul akubat persalinan yang terhambat, disertai peregangan dan penipisan berlebihan segmen bawah uterus. Pada situasi semacam ini cincin dapat terlihat sebagai suatu identitas abdomen dan menandakan ancaman akan rupturnya segnen bawah uterus. Kontriksi uterus local jarang dijumpai saat ini karena terhanbatnya persalinan secara berkepanjangan tidak lagi dibiarkan. Konstriksi local ini kadang-kadang masih terjadi sebagai konstriksi jam pasir (haourglass constriction) uterus setelah lahirnya kembar pertama. Pada keadaan ini, konstriksi tersebut kadang-kadang dapat dilemaskan dengan anestesi umum yang sesuai dan janin janin dilahirkan secara normal, tetapi kadang-kadang seksio sesarea yang dilakukan dengna segera menghasilkan progonis yang lebih baik bagi kembar kedua.
Pembentukan Fistula
Apabila bagian terbawah janin menekan kuat ke pintu atas pinggul tetapi tidak maju untuk jangka waktu yang cukup lama, bagian jalan lahir yang terletak diantaranya dan dinding panggul dapat mengalami tekanan yang berlebihan. Karena gangguan sirkulasi, dapat terjadi narcosis yang akan jelas dalam beberapa hari setelah melahirkan dengan munculnya fistula vesikovaginal, vesikoservikal, atau rektovaginal. Umumnya narcosis akibat penekanan ini pada persalinan kala II yang berkepanjangan. Dulu saat tindakan operasi ditunda selama mungkin, penyulit ini sering dijumpai, tetapi saat ini jarang terjadi kecuali Negara-negara yang belum berkembang.
Cedera otot-otot dasar panggul
Suatu anggapan yang telah dipegang adalah bahwa cedera otot-otot dasar panggul atau persarfan ata fasia penghubungannya merupakan konsekuensi yang tida terlelakan pada persalinan pervaginam, terutama apabila persalinannya sulit. Saat kelahiran bayi, dasar panggul mendapat tekanan langsung dari kepala janin serta tekanan kebawah akibat upaya mengejan ibu. Gaya-gaya inimeregangkan dan melebarkan dasar panggul selama melahirkan ini akan menyebabakan inkontinensa urin dan alvi serta prolaps organ panggul.
Efek pada janin
Partus lama itu sendiri dapat dirugikan. Apabila panggul sempit dan juga terjadi ketuban pecah lama serta infeksi intrauterus, risiko janin dan ibu akan muncul. Infeksi intrapartum bukan saja merupkan penyulit yang serius pada ibu, tetapi juga merupakan penyebab penting kematian janin dan neonates. Hal ini disebakan bakteri didalam cairan amnion menembus selaput amnion dan menginvasi desidua serta pembuluh korion, sehingga terjadi bakteremia pada ibu dan janin. Pneumonia janin, akibat aspirasi cairan amnion yang terinfeksi, adalah konsekuensi serius lainnya.


Kaput Suksedeneum
Apabila panggul sempit, sewaktu persalinan sering terjadi kaput suksedeneum yang besar terjad terbawah kepala janin. Kaput ini dapat berukuran cukup besar dan menyebabakan kesalahan diagnostic yang serius. Kaput hamper dapat mencapai dasar panggul sementara kepala sendiri belum cakap.
Molase kepala janin
Akibat tekanan his yang kuat, lempeng-lempeng tulang tengkorak saling bertumpang tindih satu sama lain disutura-sutura besar, suatu proses yang disebut molase. Biasannya batas median tulang parietal yang berkontak dengan promotorium bertumpang tindih dengan tulang disebelahnya; hal ini sama terjadi pada tulang-tulang frontal. Namun tulang oksipetal terdorong kebawah tulang parietal. Perubahan-perubahan ini sering terjadi tanpa menimbulkan kerugian yang nyata. Di lain pihak, apabila distorsi yang terjadi mencolok, molase dapat menyebabkan robekan tentorium, laserasi pembuluh darah janin, tanpa perdarahan intra karinial pada janin.
Fraktur tengkorak kadang-kadang dijumpai, biasanya setelah dilakukan uoaya paksa pada persalinan. Fraktur ini juga dapat terjadi pada persalinan spontan atau bahkan sekseo sesarea.